rangkaianhari

Friday, October 28, 2005

[Celoteh] Buku Telepon (dari e-mail)

Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah, terlihat suatu percakapan yang menarik. Seorang guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas. Sementara itu, dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan. "Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuatmu bahagia? Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini?"

Murid-murid tampak saling pandang. Terdengar suara lagi dari guru, "Ya,ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidupmu...". Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan guru itu menunjuk pada seorang murid. "Nah, kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui? Berbagilah dengan teman-teman! mu..." Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid, "Seminggu yang lalu, adalah masa yang sangat besar buatku. Orangtuaku, baru saja membelikan sebuah motor, persis seperti yang aku impikan selama ini". Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu. "Motor sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan itu!" Sang guru tersenyum.

Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya. Maka,terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir. Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan.

Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang. "Pak Guru..Pak, aku belum bercerita". Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil. Matanya berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya.

"Maaf, silahkan, ayo berbagi dengan kami semua", ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu. "Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?", Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali.

"Keberhasilan terbesar buatku, dan juga buat keluargaku adalah..saat nama keluarga kami tercantum dalam buku telpon yang baru terbit 3 hari yang lalu". Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan tertawa terbahak mendengar cerita itu.

Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, "Ha? aku sudah sejak lahir menemukan nama keluargaku di buku telpon. Buku Telpon? Betapa menyedihkan...hahaha". Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, "Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu?" Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan.

Pak Guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan. "Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silahkan teruskan, Nak..." Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. "Ya. Memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah aku dapatkan. Dulu, Ayahku bukanlah orang baik-baik. Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah. Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa dikejar polisi".

Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan. "Tapi, kini Ayah telah berubah. Dia telah mau menjadi Ayah yang baik buat keluargaku. Sayang, semua itu butuh waktu dan usaha. Tak pernah ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja. Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Ayahku. Dan kini, Ayah berhasil. Bukan hanya itu, Ayah juga membeli sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi". "Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluargamu ada di buku telpon? Itu artinya, aku tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan ayah untuk terus berlari. Itu artinya, aku tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang aku sayangi. Itu juga berarti, aku tak harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, aku, dan juga keluargaku, adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya".

Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. "Itu artinya, akan ada harapan-harapan baru yang aku dapatkan nanti...". Kelas terdiam.

Pak Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk. Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan.

Mereka juga belajar satu hal : "Bersyukurlah dan berbesar hatilah setiap kali mendengar keberhasilan orang lain. Sekecil apapun... Sebesar apapun".

(Heiii...tau banget tuh perasaan seperti itu, saat aku dalam "pengembaraan". It's really great story!!!)

Thursday, October 27, 2005

[Celoteh] Obrolan Pagi Hari

Angkot JT 04 masih sepi. Hanya aku satu-satunya penumpang di dalamnya. Duduk di depan, Pak Sopir beserta Sang Istrinya yang ikut hendak pergi ke pasar. Mataku masih berat untuk dinyalangkan. Sisa-sisa kepeningan akibat kurang tidur semalam dan harus bangun untuk sahur pun masih berkutat di kepalaku. Tiba-tiba, naiklah seorang Bapak Tua, dengan rambut putih, berbadan ringkih, ke dalam angkot yang kutumpangi. Ternyata Pak Tua tersebut kenal dengan Pak Sopir dan Istrinya itu. Mulailah mereka bercakap-cakap dengan suara keras, yang menyadarkanku dari rasa kantuk.

" Jon (nama samaran)..... Gue udah gak tinggal di gubug derita Gue lagi sekarang. Sialan tuh si Yoso-Yoso (Gubernur DKI)! Pas Dia buka puasa bareng di mesjid, gubug derita Gue dibongkar Pemda," teriak Pak Tua kepada Pak Sopir.

"Ooo...yang pas hari Minggu itu ye, Bang? Kayaknye kita juga diundang tapi pada kagak dateng," tutur si Istri Pak Sopir dengan suara yang tak kalah kencang.

"Iye....waaaah, gak tau lagi deh Gue sekarang. Mana udah tua, pengangguran, anak 12, cucu 5, istri 4,......,......,....... (keluh-kesah)," ujarnya dengan nada putus asa tapi tetap dengan suara yang lantang.

"Itu mah salah Lo sendiri.....punya istri banyak. Kayak orang kaya aja Lo. Awas Lo Bang, kalo entar kayak gitu juga...punya Istri lagi," bisik-bisik Si Istri kepada Pak Sopir, Suaminya.

Pak Sopir hanya bersiul-siul kecil saja saat mendengar perkataan istrinya, lalu berkata pelan, "Emangnye Gue orang kaya, punya Istri banyak!"

Aku tersenyum sambil menahan tawa, mendengar percakapan kedua pasangan tersebut.

Sedangkan Pak Tua masih tetap saja mengocehkan keluhan kerasnya hidup, "Susah jadi orang kecil, diusir-usir mulu, mana,..... ..... ......(keluh kesah)."

Cukup lama percakapan ketiga orang tersebut mengenai kehidupan yang mereka alami akhir-akhir ini. Harga-harga naik, sebentar lagi lebaran dan masih belum bisa membelikan baju baru buat anak mereka, ongkos naik, bensin naik, dan lain-lain.

Saat itu...aku pun tersadar...aku belum berterima kasih kepada Allah, atas nikmat yang kuterima.

Nikmat yang menyebabkan aku hingga saat ini masih bisa makan dengan tenang, masih memiliki pekerjaan, masih mempunyai sedikit lebihan untuk membeli sesuatu yang aku inginkan, masih dapat tidur di rumah dengan nyenyak.

Alhamdulillah...terima kasih Allah!

Semoga Kau limpahkan juga rahmat-Mu bagi orang-orang yang membutuhkan.

Wednesday, October 26, 2005

[Esei] Bersyukur

Sesaat setelah memasuki mobilnya, seorang direktur bertanya kepada supir pribadinya, “Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?” Sang supir pun menjawab, “Cuaca hari ini adalah cuaca yang saya sukai.” Dengan penuh rasa ingin tahu, si majikan pun menanyakan alasan dari jawaban tersebut, “ Bagaimana kamu bisa begitu yakin?” Lalu dengan kerendahan hati, sang supir itu pun berkata,” Begini Pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai karena itu saya selalu menyukai apa pun yang saya dapatkan.”

Demikianlah sekelumit cerita yang saya dapatkan, melalui e-mail yang dikirimkan oleh seorang kawan. Inti dari cerita tadi, ialah dengan bersyukur kita akan dapat lebih bahagia. Namun benarkah dengan hanya mensyukuri apapun yang kita dapatkan, akan membuat kita bahagia? Benarkah kebahagian selalu menjadi tujuan hidup kita di dunia ini? Sebenarnya, pernyataan itu mungkin akan diaminkan oleh sekian banyak orang yang merasa bahwa kebahagian adalah puncak dari segala-gala di kehidupan ini. Dengan mensyukuri apa yang kita terima, akan membuat kita tenang, damai, tenteram sehingga dalam menjalani hidup ini pun terasa enteng. Dalam bersyukur, berarti kita tidak memfokuskan diri terhadap apa yang kita inginkan melainkan apa yang kita dapatkan. Hal inilah yang menimbulkan rasa bahagia karena tidak mempunyai obsesi yang sering membuat sakit kepala apabila keinginan itu tidak terwujudkan.

Namun apakah benar begitu, hanya dengan bersyukur maka menjamin kualitas hidup yang kita jalani itu telah berarti. Hanya dengan bersyukur maka kita telah “mensyukuri” apa yang telah diberikan oleh Allah SWT semata. Bagi saya pribadi, pemikiran seperti itu adalah sebuah pemikiran praktis bagi orang-orang yang malah tidak mensyukuri pemberian tuhan. Lebih gamblangnya lagi, pemikiran tersebut hanyalah berguna bagi seorang pecundang.

Sebagai manusia, kita diberikan akal oleh Tuhan agar kita dapat berpikir. Ini merupakan karunia terbesar yang diberikan-Nya. Dengan akal, kita kita diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan. Dengan selalu “bersyukur”, berarti secara tidak langsung kita bukanlah tergolong orang-orang yang berpikir (ulil albab). Padahal dalam Al-Qur’an pun secara jelas dikatakan Alllah SWT, selalu senang dengan orang-orang yang selalu berpikir. Jika kita selalu menyerah dengan hasil yang kita dapat, tanpa pernah berpikir tentang solusi apa yang akan kita gunakan untuk menyiasati masalah kita, apa bedanya kita dengan seorang pecundang yang selalu saja menyesali hidupnya yang tak berguna, tanpa mau berusaha untuk mengubah kehidupannya sendiri. Bahkan dalam Al-Qur’an dikatakan, Allah SWT tidak akan mengubah nasib seseorang apabila seseorang itu tidak berusaha untuk mengubahnya sendiri.

Bagi saya, berpikiran liar sekalipun, dengan pola pikir apapun, selama menyadari bahwa itu hanyalah media kita dalam mensyukuri nikmat Allah SWT, merupakan sesuatu hal yang sangat wajar dan masuk akal. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana cara bersyukur apabila kita tak pernah tahu bagaimana rasa tak pernah puas, obsesif, maupun kegagalan. Kita tidak akan pernah tahu rasa gula itu manis, sebelum mencicipi gula itu sendiri. Kita tak pernah merasa nikmatnya hidup, jika belum merasakan sengsaranya hidup. Kesemuanya itu merupakan hukum sebab-akibat, yang merupakan sunnatullah. Dengan demikian, kita pun akan menikmati kualitas hidup yang telah kita jalani.

Tuesday, October 25, 2005

[Celoteh] Monolog

Akhir-akhir ini gue selalu bertanya-tanya, bagaimana dunia ini berjalan? Siapakah yang mengatur bergulirnya hari demi hari yang kita jalani? Siapakah yang menentukan dengan apa kita mengisi waktu yang telah dan akan kita habiskan sepanjang hidup kita? Siapakah yang menentukan jalan hidup kita, apakah individu itu sendiri, ataukah Tuhan sebagai "dalang" dari semuanya, dimana manusia dan mahluk lain adalah bentuk dari "permainan" yang diciptakan-Nya?

Kalau yang menentukannya itu manusia, buat apa ada kegagalan, kesedihan, ataupun segala sesuatu hal yang membuat orang bersedih. Ketika orang bersedih, tentulah ia mempunyai alasan. Alasan itu merupakan hasil dari obsesi yang diciptakannya sendiri, dalam kerangka pemikiran manusialah sebagai penentu hidupnya sendiri. Di saat orang merasa gagal, otomatis orang itu tidak bisa dikatakan menentukan hidupnya sendiri karena dengan demikian gagal pula ia dalam menentukan jalan hidupnya.

Namun jika memang Tuhanlah, "pelaku" tunggal yang menentukan kehidupan dari tiap-tiap mahluk ciptaan-Nya, apapula maksudnya memberikan akal pikiran sebagai modal dasar, terutama manusia dalam menjalani kehidupannya, jika ternyata pada akhirnya, Dia pula yang membuat grand design dan mengetahui hasil akhir kehidupan seseorang, dari lahir sampai meninggal dunia. Point yang lebih penting lagi, apa sih sebenarnya yang dikehendaki-Nya? Untuk itulah gue kadang merasa diperlakukan sebagai objek dari-Nya!

Kalau begitu, apa arti eksistensi manusia di muka bumi ini??? Blank... gue belum ngerti, seperti halnya gue juga belum ngerti "gue" itu sendiri. Naif banget kali ye, kalau kita katakan bahwa kita tau siapa diri kita masing-masing!

Bingungkan, ya udah kalo loe bisa bingung saat ngebaca "lolongan" jiwa gue ini, berarti gue punya temen dong, yang nemenin gue untuk berbingung-bingung atas kebingungan kita masing-masing...hehehe.


We Joined Blogfam