rangkaianhari

Wednesday, December 28, 2005

[Celoteh] With or Without You

"With or Without You"


U2

See the stone set in your eyes
See the thorn twist in your side
I wait for you
Slight of hand and twist of fate
On a bed of nails she makes me wait
And I wait without you

With or without you
With or without you

Through the storm we reach the shore
You give it all but I want more
And I'm waiting for you

With or without you
With or without you
I can't live
With or without you

And you give yourself away
And you give yourself away
And you give
And you give
And you give yourself away

My hands are tied, my body bruised
She's got me with nothing left to win
And nothing else to lose

And you give yourself away
And you give yourself away
And you give
And you give
And you give yourself away

With or without you
With or without you
I can't live
With or without you

Sungguh......sangat berat menjadi seseorang yang berpikiran dewasa dan bijaksana. Sungguh susah membungkam kata hati, bahkan saat perasaan menentang hebat.

Oooh....kata hatiku....
Kau buat perasaanku ini kembali tersayat.
Mengapa kau biarkan rasa sayang itu kembali, hanya untuk mengikis kembali luka yang telah mengering.

Seperti yang telah disepakati....biarkanlah hati kita berdua ini mengembara. Berkelana dalam tiap bentuk-bentuk ruang hati yang berbeda. Jauh.....melepaskan untaian benang maya yang telah lama membelenggu kita.

Tapi lagi-lagi, kata hatiku ini berucap lain...
Entah berapa lama lagi, momen ini akan terulang
Kuingin menolaknya, namun kata hatiku berbicara lain

Namun kali ini.....
Kulihat langit telah berbatas
Tak kulihat lagi bentuknya di sana

Telah lelah diri ini menyusuri tepian hati yang tak teraba
Inilah saatnya
Untuk menata hati kembali...

Thursday, December 15, 2005

[Tabik] Jakarta, 10 September 2004 by Goenawan Mohamad (Sebuah epik untuk Munir)


- sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah mereka.


Kelak, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin baru akan bisa membaca surat ini, yang ditulis oleh seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu meninggalkan kita semua secara tiba-tiba, ketika kalian belum mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan hari jadi muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di sebuah majalah tua: ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh, dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin adalah semacam doa: "Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini, biarkan kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menangkap gelap."

Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi ia cemas akan kelam. Gelap adalah bagian dari hidup. Kelam adalah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang mutlak. Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.

Dengan tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak membiarkan kelam itu berkuasa. Seakan-akan tiap senjakala ia melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk. Ia tahu bagaimana mereka disebut. Yang pertama bernama Kekerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga Keserakahan, dan yang keempat Kebencian.

Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia melawan.

Di negeri yang sebenarnya tak hendak ditinggalkannya ini, Nak, tak semua orang melawan. Bahkan di masa kami tak sedikit yang menyambut Empat Penunggang Kuda itu, sambil berkata, "Kita tak bisa bertahan, kita tak usah menentang mereka, hidup toh hanya sebuah rumah gadai yang besar." Dan seraya berujar demikian, mereka pun menggadaikan bagian dari diri mereka yang baik.

Orang-orang itu yakin, dari perolehan gadai itu mereka akan mencapai yang mereka hasratkan. Sepuluh tahun yang akan datang kalian mungkin masih akan menyaksikan hasrat itu. Terkadang tandanya adalah rumah besar, mobil menakjubkan, pangkat dan kemasyhuran yang menjulang tinggi. Terkadang hasrat kekuasaan itu bercirikan panji-panji kemenangan yang berkibar?yang ditancapkan di atas tubuh luka orang-orang yang lemah.

Ya, ayah kalian melawan semua itu?Empat Penunggang Kuda yang menakutkan itu, hasrat kekuasaan itu, juga ketika hasrat itu mendekat ke dalam dirinya sendiri?dengan jihad yang sebenarnya sunyi. Seperti anak manusia di padang gurun. Ia tak mengenakan sabuk seorang samseng, ia tak memasang insinye seorang kampiun. Ia naik motor di tengah-tengah orang ramai, dan bersama-sama mereka menanggungkan polusi, risiko kecelakaan, kesewenang-wenangan kendaraan besar, dan ketidakpastian hukum dari tikungan ke tikungan. Mungkin karena ia tahu bahwa di jalan itu, dalam kesunyian masing-masing, dengan fantasi dan arah yang tak selamanya sama, manusia pada akhirnya setara, dekat dengan debu.

Alief, Diva, kini ayah kalian tak akan tampak di jalan itu. Ada yang terasa kosong di sana. Jika kami menangis, itu karena tiba-tiba kami merasa ada sebuah batu penunjang yang tanggal. Sepanjang hidupnya yang muda, Munir, ayahmu, menopang sebuah ikhtiar bersama yang keras dan sulit agar kita semua bisa menyambut manusia, bukan sebagai ide tentang makhluk yang luhur dan mantap, tapi justru sebagai ketidakpastian.

Ayahmu, Diva, senantiasa berhubungan dengan mereka yang tak kuat dan dianiaya; ia tahu benar tentang ketidakpastian itu. Apa yang disebut sebagai "hak asasi manusia" baginya penting karena manusia selalu mengandung makna yang tak bisa diputuskan saat ini.

Ada memang yang ingin memutuskan makna itu dengan menggedruk tanah: mereka yang menguasai lembaga, senjata, dan kata-kata sering merasa dapat memaksakan makna dengan kepastian yang kekal kepada yang lain. Julukan pun diberikan untuk menyanjung atau menista, label dipasang untuk mengontrol, seperti ketika mereka masukkan para tahanan ke dalam golongan "A", "B", dan "C" dan menjatuhkan hukuman. Juga mereka yang merasa diri menguasai kebenaran gemar meringkas seseorang ke dalam arti "kafir", "beriman", "murtad", "Islamis", "fundamentalis", "kontra-revolusioner", "Orde Baru", "ekstrem kiri"?dan dengan itu membekukan kemungkinan apa pun yang berbeda dari dalam diri manusia.

Ayah kalian terus-menerus melawan kekerasan itu, ketidakadilan itu. Tak pernah terdengar ia merasa letih. Mungkin sebab ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegangan, dan ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berseru, "Jangan kita jatuh ke dalam kelam!"

Tapi akhirnya tiap jihad akan berhenti, Alief. Mungkin karena tiap syuhada yang hilang akan bisa jadi pengingat betapa tinggi nilai seorang yang baik.

Apa arti seorang yang baik? Arti seorang yang baik, Diva, adalah Munir, ayahmu. Kemarin seorang teman berkata, jika Tuhan Maha-Adil, Ia akan meletakkan Munir di surga. Yang pasti, ayahmu memang telah menunjukkan bahwa surga itu mungkin.

Adapun surga, Alief dan Diva, adalah waktu dan arah ke mana manusia menjadi luhur. Dari bumi ia terangkat ke langit, berada di samping Tuhan, demikianlah kiasannya, ketika diberikannya sesuatu yang paling baik dari dirinya?juga nyawanya?kepada mereka yang lemah, yang dihinakan, yang ketakutan, yang membutuhkan. Diatasinya jasadnya yang terbatas, karena ia ingin mereka berbahagia.

Maka bertahun-tahun setelah hari ini, aku ingin kalimat ini tetap bertahan buat kalian: ayahmu, syuhada itu, telah memberikan yang paling baik dari dirinya. Itu sebabnya kami berkabung, karena kami gentar bahwa tak seorang pun akan bisa menggantikannya. Tapi tak ada pilihan, Alief dan Diva. Kami, seperti kalian kelak, tak ingin jatuh ke dalam kelam.

Goenawan Mohamad

[Tabik] Sebuah Obituari untuk Rachel Corrie by Goenawan Mohamad


Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah namamu. Semoga selalu kembalilah ingatan kepada seseorang yang bersedia mati untuk orang lain dalam umur 23 tahun, seseorang yang memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap diabaikan di satu Ahad yang telah terbiasa dengan kematian.

Hari itu 16 Maret yang tak tercatat, karena hari selalu tak tercatat dalam kehidupan orang Palestina, orang-orang yang tahu benar, dengan ujung saraf di tungkai kaki mereka, apa artinya ”sementara”. Juga di Kota Rafah itu, di dekat perbatasan Mesir, tempat hidup 140 ribu penghuni—yang 60 persennya pengungsi—juga pengungsi yang terusir berulang kali dari tempat ke tempat. Pekan itu tentara Israel datang, seperti pekan lalu, ketika 150 laki-laki dikumpulkan dan dikurung di sebuah tempat di luar permukiman. Tembakan dilepaskan di atas kepala mereka, sementara tank dan buldoser menghancurkan 25 rumah kaca yang telah mereka olah bertahun-tahun dan jadi sumber penghidupan 300 orang—orang-orang yang sejak dulu tak punya banyak pilihan.

Tentara itu mencari ”teroris”, katanya, dan orang-orang kampung itu mencoba melawan, mungkin untuk melindungi satu-dua gerilyawan, mungkin untuk mempertahankan rumah dan tanah dari mana mereka mustahil pergi, karena tak ada lagi tempat untuk pergi.

Saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga, sebab hari itu ia, seorang perempuan muda dari sebuah kota yang tenang di timur laut Amerika Serikat, memilih nasibnya di antara orang-orang di Rafah itu: mereka yang terancam, tergusur, tergusur lagi, dan tenggelam. Hari itu ia melihat sebuah buldoser tentara Israel menderu. Sebuah rumah keluarga Palestina hendak dihancurkan. Dengan serta-merta ia pun berlutut di lumpur. Ia mencoba menghalangi.

Tapi jaket jingga terang yang ia kenakan hari itu tak menyebabkan serdadu di mobil perusak itu memperhatikannya. Prajurit di belakang setir itu juga tak mengacuhkan orang-orang yang berteriak-teriak lewat megafon, mencoba menyetopnya. Buldoser itu terus. Tubuh itu dilindas. Tengkorak itu retak. Saya bayangkan Rachel Corrie di surga setelah itu; ia meninggal di Rumah Sakit Najar.

Rachel yang di surga, selalu kembalilah namamu. Korban dan kematian di hari ini menjadikan kita sebaya rasanya. Kau terbunuh di sebuah masa ketika tragedi dibentuk oleh berita pagi, dan makna kematian disusun oleh liputan yang datang dan pergi dengan sebuah kekuasaan yang bernama CNN. Tahukah kau, di seantero Amerika Serikat, tanah-airmu, tak terdengar gemuruh suara protes yang mengikuti jenazahmu?

Tentu kita maklum, bukan singkat ingatan semata-mata yang menyebabkan sikap acuh tak acuh setelah kematianmu di hari itu. Bayangkanlah betapa akan sengitnya amarah orang dari Seattle sampai dengan Miami, dari Gurun Mojave sampai dengan Bukit Capitol, seandainya kau, seorang warga negara Amerika, tewas di tangan seorang Palestina yang melempar batu.

Tapi kau tewas di bawah buldoser tentara Israel; kau berada di pihak yang keliru, anakku. Itulah memang yang diutarakan beberapa orang di negerimu ketika mereka menulis surat ke The New York Times. Mereka menyalahkanmu. Sebab kau datang, bersama tujuh orang Inggris dan Amerika lain, untuk menjadikan tubuhmu sebuah perisai bagi keluarga-keluarga Palestina yang menghadapi kekuatan besar pasukan Israel di kampung halaman mereka. Kau melindungi teroris, kata mereka. Meskipun sebenarnya kau datang dari Olympia, di dekat Teluk Selatan Negara Bagian Washington, bergabung dengan International Solidarity Movement, untuk mengatakan: ”Ini harus berhenti.”

Kau salah, Rachel, kata mereka. Tapi kenapa? Dalam sepucuk e-mail bertanggal 27 Februari 2003 yang kemudian diterbitkan di surat kabar The Guardian, kau menulis, ”Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut…. Kini kupertanyakan keyakinanku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia. Ini harus berhenti.”

Saya bayangkan Rachel di surga, saya bayangkan ia agak sedih. Ia dalam umur yang sebenarnya masih pingin pergi dansa, punya pacar, dan menggambar komik lagi untuk teman-teman sekerjanya. Tapi di sini, di Rafah, ada yang ingin ia stop; bersalahkah dia? Beberapa kalimat dalam surat kepada ibunya menggambarkan perasaannya yang intens: ”Ngeri dan tak percaya, itulah yang kurasakan. Kecewa.”

Ia kecewa melihat ”realitas yang tak bermutu dari dunia kita”. Ia kecewa bahwa dirinya ikut serta di kancah itu. ”Sama sekali bukan ini yang aku minta ketika aku datang ke dunia ini,” tulisnya, ”Bukan ini dunia yang Mama dan Papa inginkan buat diriku ketika kalian memutuskan untuk melahirkanku.”

Apa yang mereka inginkan, Rachel, dan apa yang kau minta? Berangsur-angsur kau pun tahu: kau tak menghendaki sebuah rumah yang begitu nyaman, begitu ”Amerika”, hingga si penghuni tak menyadari sama sekali bahwa ia sebenarnya berpartisipasi dalam sesuatu yang keji, yakni ”dalam pembantaian”. Itulah sebabnya kau berangkat ke Palestina. ”Datang ke sini adalah salah satu hal yang lebih baik yang pernah kulakukan,” begitu kau tulis pada 27 Februari 2003. ”Maka jika aku terdengar seperti gila, atau bila militer Israel meninggalkan kecenderungan rasialisnya untuk tak melukai orang kulit putih, tolong, cantumkanlah alasan itu tepat pada kenyataan bahwa aku berada di tengah pembantaian yang aku juga dukung secara tak langsung, dan yang pemerintahku sangat ikut bertanggung jawab.”

Ia menuduh dirinya sendiri ikut bersalah. Tapi ia meletakkan kesalahan yang lebih besar pada pemerintahnya. Rasanya ia betul. Saya kira ia bahkan bisa juga menggugat jutaan orang Amerika lain yang senantiasa membenarkan apa yang dilakukan Ariel Sharon—hingga dalam keadaan perang dengan Irak sekalipun, dari Washington DC datang tawaran satu triliun dolar untuk bantuan militer langsung kepada Israel, di celah-celah berita tentang orang Palestina yang ditembak dan dihalau, di antara kabar tentang anak-anak Palestina yang tewas. Bukan main—cuma beberapa hari setelah seorang Amerika tewas ditabrak buldoser di Kota Rafah!

Jika ada kepedihan hati di sana, kau pasti mengetahuinya lebih intim, Rachel. Dari lumpur Kota Rafah itu kau pasti mengerti apa yang jarang dimengerti orang Amerika: kekerasan bisa muncul di puing-puing itu, sebagai bagian dari usaha untuk, seperti kau katakan dalam suratmu, ”melindungi fragmen apa pun yang tersisa”. Segalanya telah direnggutkan. Kau akan bisa menunjukkan bahwa Usamah bin Ladin dan Saddam Hussein, dengan wajah mereka yang setengah gelap, menjadi penting karena mereka bisa bertaut dengan gaung Palestina di mana segalanya telah direnggutkan—sebuah pantulan dari keluh lama yang jadi hitam. Sampai hari ini, yang terdengar sebenarnya adalah sebuah gema dari geram bertahun-tahun yang terkadang kacau, terkadang keras, dan senantiasa kalah.

Senantiasa kalah—di Yerusalem, di Kabul, dan, sebentar lagi, di Bagdad.

Tapi adakah kalah segala-galanya? Tidak, kau pasti akan bilang, semoga tidak. Dalam suratmu bertanggal 28 Februari kau ceritakan kepada ibumu sesuatu yang menyebabkan engkau merasa lebih mantap sedikit, di antara perasaan pahitmu menyaksikan hidup yang dibangun oleh ketidakadilan. Tak semuanya ternyata hanya ngeri, tak percaya, dan kecewa. Di celah-celah luka yang merundung penghuni Palestina yang kau kenal di Rafah, kau dapat menyaksikan sesuatu yang lain dari kepedihan. Kau menemukan sesuatu yang belum pernah kau lihat dalam hidupmu sebelumnya: ”…satu derajat kekuatan dan kemampuan dasar manusia untuk tetap menjadi manusia”. Dan kau punya sepatah kata untuk itu: dignity.

Tapi apa kiranya yang bisa didapat dari dignity, dari harga diri, yang menyebabkan manusia tak melata di atas debu sebelum menggadaikan segala-galanya? Tak banyak, tapi juga sangat banyak.

Seperti Bagdad yang akan jatuh, yang lemah akan tetap roboh. Tapi di depan tubuh yang tergeletak di lumpur, tubuh yang terjerembap dan menuding ketidakadilan, kemenangan sang superkuat sekalipun akan terhenti: ia hanya ibarat sebuah buldoser yang sekadar menghancurkan. Genggaman itu kosong. Penaklukan itu ilusi.

Sebab itu, Rachel yang ada di surga, semoga namamu selalu akan kembali. Kini memang saya bimbang, tapi masih ingin saya percaya bahwa hidup selalu membutuhkan yang lain, sesuatu yang bukan fotokopi diri subyek yang bertakhta. Saya masih ingin percaya bahwa tak mustahil akan ada sebuah ruang di mana yang lemah tak terusir, dan yang lain bisa sewaktu-waktu berteriak ”Stop kau!” dan sebab itu merdeka.

Goenawan Mohamad

[Puisi] Pada Sebuah Malam


Ia mengawasi langit yang saat itu kelam
bagaikan juntaian jubah lebar hitam yang menyita kata-kata pada malam itu

Sekian jam terbuang
Namun dengan setia Ia tengadahkan kepala sambil tetap mengawasi, kalau-kalau ada sesuatu yang berubah

“ Barangkali bukan malam ini,” tuturnya lirih
sementara itu satu bintang susut dan pudar…mengasing dari konstelasinya

18 Mei 2000

Wednesday, December 14, 2005

[Celoteh] Semangkuk Mi (dari e-mail)

Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang.

Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.

Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata "Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?"

" Ya, tetapi, aku tidak membawa uang", jawab Ana dengan malu-malu.

"Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu" jawab si pemilik kedai. "Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu".

Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.

"Ada apa nona?" Tanya si pemilik kedai.

"Tidak apa-apa, aku hanya terharu", jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.

"Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi, tetapi ibuku sendiri? Setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah".

"Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri", katanya kepada pemilik kedai.

Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang dan berkata "Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu.

Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya"

Ana, terhenyak mendengar hal tersebut. "Mengapa aku tdk berpikir tentang hal tersebut? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya".

Ana, segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk Segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan kepada ibunya.

Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah "Ana kau sudah pulang, cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tdk memakannya sekarang".

Pada saat itu Ana tidak dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.

Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kpd org lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan kepada kita. Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan kita (keluarga), khususnya orang tua, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita.

Kisah untuk menyambut hari ibu 22 Desember.

[Celoteh] Tidak Apa-Apa, Kan Masih Ada Hari Esok (dari e-mail)

Pada suatu tempat, hiduplah seorang anak. Dia hidup dalam keluarga yang bahagia, dengan orang tua dan sanak keluarganya. Tetapi, dia selalu mengangap itu sesuatu yang wajar saja. Dia terus bermain, menggangu adik dan kakaknya, membuat masalah bagi orang lain adalah kesukaannya.

Ketika ia menyadari kesalahannya dan mau minta maaf, dia selalu berkata, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."

Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Tetapi, dia anggap itu wajar-wajar saja. Semua begitu saja dijalaninya sehingga dia anggap semua sudah sewajarnya.

Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak tidak pernah mengambil inisiatif untuk minta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."

Ketika dia agak besar, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu, tapi mereka tidak pernah saling tegur. Tapi itu bukanlah masalah, karena dia masih punya banyak teman baik yang lain.

Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama, main, kerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-temannya yang paling baik.

Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia ketemu seorang cewek yang sangat cantik dan baik. Cewek ini kemudian menjadi pacarnya.

Dia begitu sibuk dengan kerjanya, karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya. Tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, bahkan lewat telepon. Dia selalu berkata, "Ah, aku capek, besok saja aku hubungin mereka."

Ini tidak terlalu mengganggu dia karena dia punya teman-teman sekerja selalu mau diajak keluar. Jadi, waktu pun berlalu, dia lupa sama sekali untuk menelepon teman-temannya.

Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras agar dalam membahagiakan keluarganya. Dia tidak pernah lagi membeli bunga untuk istrinya, atau pun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari pernikahan mereka. Itu tidak masalah baginya, karena istrinya selalu mengerti dia, dan tidak pernah menyalahkannya.

Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan untuk mengatakan pada istrinya, "Aku cinta kamu", tapi dia tidak pernah melakukannya. Alasannya, "Tidak apa-apa, saya pasti besok akan mengatakannya."

Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, tapi dia tidak tahu ini akan perpengaruh pada anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya, dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya.

Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya ditabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang ada rapat. Dia tidak sadar bahwa itu kecelakaan yang fatal, dia baru datang saat istrinya akan dijemput maut.

Sebelum sempat berkata "Aku cinta kamu", istrinya telah meninggal dunia.

Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri melalui anak-anaknya setelah kematian istrinya. Tapi, dia baru sadar bahwa anak anaknya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya.

Segera, anak-anaknya dewasa dan membangun keluarganya masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktunya untuk mereka.

Saat mulai renta, Dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60, dan 70.

Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawaii, New Zealand, dan negara-negara lain bersama istrinya, tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut.

Sejak itu sampai dia meninggal, hanya ada orang-orang tua dan suster yang merawatnya. Dia kini merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya.

Saat dia mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, "Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu...." Kemudian perlahan iamenghembuskan napas terakhir, Dia meninggal dunia dengan airmata di pipinya.

Apa yang saya ingin coba katakan pada anda, waktu itu nggak pernah berhenti. Anda terus maju dan maju, sebelum benar-benar menyadari, anda ternyata telah maju terlalu jauh.

Jika kamu pernah bertengkar, segera berbaikanlah!

Jika kamu merasa ingin mendengar suara teman kamu, jangan ragu-ragu untuk meneleponnya segera.

Terakhir, tapi ini yang paling penting, jika kamu merasa kamu ingin bilang sama seseorang bahwa kamu sayang dia, jangan tunggu sampai terlambat.

Jika kamu terus pikir bahwa kamu lain hari baru akan memberitahu dia, hari ini tidak pernah akan datang.

Jika kamu selalu pikir bahwa besok akan datang, maka "besok" akan pergi begitu cepatnya
hingga kamu baru sadar bahwa waktu telah meninggalkanmu.

[Celoteh] Kisah Cinta (dari e-mail)

Segalanya berawal ketika saya masih berumur 6 thn... Ketika saya sedang bermain di halaman rumah saya di California, saya bertemu seorang anak laki-laki. Dia seperti anak laki-laki lainnya yg menggoda saya dan kemudian saya mengejarnya lalu memukulnya...

Setelah pertemuan pertama dimana saya memukulnya, kami selalu bertemu & saling memukul satu sama lain di batas pagar itu... Tapi tidakklah lama... Kami selalu bertemu di pagar itu dan kami selalu bersama... Saya menceritakan semua rahasia saya. Dia sangat pendiam... dia hanya mendengarkan apa yg saya katakan. Saya menganggap dia enak diajak bicara & saya dapat berbicara kepadanya tentang apa saja...

Di sekolah kami memiliki teman-teman yg berbeda, tapi ketika kami pulang ke rumah, kami selalu berbincara tentang apa yg terjadi di sekolah. Suatu hari, saya bercerita kepadanya tentang anak laki-laki yg saya sukai tetapi telah menyakiti hati saya... Dia menghibur saya & mengatakan segalanya akan beres...

Dia memberikan kata-kata yg mendukung & membantu saya untuk melupakannya... Saya sangat bahagia & menganggapnya sebagai teman sejati. Tetapi saya tahu bahwa sesungguhnya ada yg lain dari dirinya yg saya suka... Saya memikirkannya malam itu & memutuskan kalau itu adalah rasa persahabatan...

Selama SMA & semasa kelulusan, kami selalu bersama & tentu saja saya berpikir bahwa ini adalah persahabatan. Tetapi jauh di lubuk hati, saya tahu bahwa ada sesuatu yg lain... Pada malam kelulusan, meskipun kami memiliki pasangan sendiri-sendiri, sesungguhnya saya menginginkan bahwa sayalah yg menjadi pasangannya. Malam itu, setelah semua orang pulang, saya pergi ke rumahnya untuk mengatakannya.

Malam itu adalah kesempatan terbesar yg saya miliki... tapi... saya hanya duduk di sana & memandangi bintang bersamanya & bercakap-cakap tentang citra-cita kami... Saya melihat ke matanya & mendengarkan ia bercerita tentang impiannya, bagaimana dia ingin menikah & sebagainya. Dia bercerita bagaimana dia ingin menjadi orang kaya & sukses... Yg dapat saya lakukan hanya menceritakan impian saya & duduk dekat dengan dia...

Saya pulang ke rumah dengan terluka karena saya tidak mengatakan perasaan saya yg sebenarnya. Saya sangat ingin mengatakan bahwa saya sangat mencintainya, tapi saya takut... Saya membiarkan perasaan itu pergi & berkata kepada diri saya sendiri bahwa sutau hari saya akan mengatakan kepadanya mengenai perasaan saya...

Selama di universitas, saya ingin mengatakan kepadanya tetapi dia selalu bersama-sama dengan seseorang... Setelah lulus, dia mendapatkan pekerjaan di New York. Saya sangat gembira untuknya, tapi pada saat yg bersamaan saya sangat bersedih menyaksikan kepergiannya. Saya sedih karena saya menyadari ia pergi untuk pekerjaan besarnya. Jadi... saya menyimpan perasaan saya untuk diri saya sendiri & melihatnya pergi dengan pesawat...

Saya menangis ketika saya memeluknya karena saya merasa bahwa ini adalah saat terakhir. Saya pulang ke rumah malam itu & menangis... Saya merasa terluka karena saya tidak mengatakan apa yg ada di hati saya...

Saya memperoleh pekerjaan sebagai sekretaris & akhirnya menjadi seorang analis komputer. Saya sangat bangga dengan prestasi saya. Suatu hari saya menerima undangan pernikahan... Undangan itu darinya. Saya bahagia & sedih pada saat yg bersamaan...

Sekarang saya tahu kalau saya tak akan pernah bersamanya & kami hanya bisa menjadi teman. Saya pergi ke pesta pernikahan itu bulan berikutnya. Itu adalah sebuah peristiwa besar.... Saya bertemu dengan pengantin wanita & tentu saja dengannya. Sekali lagi saya merasa jatuh cinta... Tapi saya bertahan agar tidak mengacaukan apa yg seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi mereka. Saya mencoba bersenang-senang malam itu, tapi sangat menyakitkan hati melihat dia begitu bahagia & saya mencoba untuk menutupi air mata kesedihan yg ada di hati saya...

Saya meninggalkan New York merasa bahwa saya telah melakukan hal yg tepat... Sebelum saya berangkat, tiba-tiba dia muncul & mengucapkan salam perpisahan & mengatakan betapa ia sangat bahagia bertemu dengan saya. Saya pulang ke rumah & mencoba melupakan semua yg terjadi di New York.

Kehidupan saya harus terus berjalan... Tahun-tahun berlalu, kami saling menulis surat & bercerita mengenai segala hal yg terjadi & bagaimana dia merindukan untuk berbicara dengan saya...

Pada suatu ketika, dia tak pernah lagi membalas surat saya. Saya sangat kuatir mengapa dia tidak membalas surat saya meskipun saya telah menulis 6 surat kepadanya...

Ketika semuanya seolah tiada harapan, tiba-tiba saya menerima sebuah catatan kecil yg mengatakan : "Temui saya di pagar dimana kita biasa bercakap-cakap"

Saya pergi ke sana & melihatnya di sana... Saya sangat bahagia melihatnya tetapi dia sedang patah hati & bersedih... Kami berpelukan sampai kami kesulitan untuk bernafas... Kemudian ia menceritakan kepada saya tentang perceraian & mengapa dia tidak pernah menulis surat kepada saya. Dia menangis sampai diatak dapat menangis lagi... Akhirnya kami kembali ke rumah & bercerita & tertawa tentang apa yg telah saya lakukan mengisi waktu. Akan tetapi, saya tetap tidak dapat mengatakan kepadanya bagaimana perasaan saya yg sesungguhnya kepadanya.

Hari-hari berikutnya dia gembira & melupakan semua masalah & perceraiannya. Saya jatuh cinta lagi kepadanya... Ketika tiba saatnya dia kembali ke New York, saya menemuinya & menangis... Saya benci melihatnya harus pergi. Dia berjanji untuk menemui saya setiap kali dia mendapat libur.

Saya tak dapat menunggu saat dia datang sehingga saya dapat bersamanya. Kami selalu bergembira ketika sedang bersama. Suatu hari dia tidak muncul sebagaimana yg telah dijanjikan. Saya berpikir bahwa mungkin dia sibuk. Hari berganti bulan & saya melupakannya. Suatu hari saya mendapat sebuah telepon dari New York. Pengacara mengatakan bahwa ia telah meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dalam perjalanan ke airport. Hati saya sangat terkejut akan kejadian ini...

Sekarang saya tahu... mengapa ia tidak muncul hari itu. Saya menangis semalaman. Air mata kesedihan & kepedihan bercampur... saya bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi terhadap seseorang yg begitu baik seperti dia ? Saya mengemasi barang-barang saya & pergi ke New York untuk pembacaan surat wasiatnya. Tentu saja semuanya diberikan kepada keluarganya & mantan istrinya. Akhirnya saya dapat bertemu dengan mantan istrinya lagi setelah terakhir kali saya bertemu pada pesta pernikahan. Dia menceritakan bagaimana mantan suaminya. Tapi suaminnya selalu tampak tidak bahagia. Apapun yg dia kerjakan, tidak dapat membuat suaminya bahagia seperti saat pesta pernikahan mereka. Ketika surat wasiatnya dibacakan, satu-satunya yg diberikan kepada saya adalah sebuah diary.

Itu adalah diary kehidupannya... Saya menangis karena itu diberikan kepada saya. Saya tak dapat berpikir... mengapa ini diberikan kepada saya ? Saya mengambilnya & terbang kembali ke California. Ketika saya di pesawat, saya teringat saat-saat indah yg kami miliki bersama. Saya mulai membaca diary itu. Diary dimulai ketika hari pertama kami berjumpa. Saya terus membaca sampai saya mulai menangis... diary itu bercerita bahwa dia jatuh cinta kepada saya di hari ketika saya patah hati.

Tapi dia takut untuk mengatakannya kepada saya. Itulah sebabnya mengapa dia begitu diam & mendengarkan segala perkataan saya... Diary itu menceritakan bagaimana dia ingin mengatakannya kepada saya berkali-kali, tetapi takut. Diary itu bercerita ketika dia ke New York & jatuh cinta dengan yg lain. Bagaimana dia begitu bahagia ketika bertemu & berdansa dengan saya di hari pernikahannya.

Dia berkata bahwa ia membayangkan bahwa itu adalah pernikahan kami. Bagaimana dia selalu tidak bahagia sampai akhirnya harus menceraikan istrinya. Saat-saat terindah dalam kehidupannya adalah ketika membaca huruf demi huruf lewat surat yg saya tulis kepadanya... Akhirnya diary itu berakhir dengan tulisan, "Hari ini saya akan mengatakan kepadanya kalau saya mencintainya..."

Itu adalah hari dimana dia terbunuh. Hari dimana pada akhirnya saya akan mengetahui apa yg sesungguhnya ada dalam hatinya.


We Joined Blogfam