rangkaianhari

Wednesday, January 26, 2005

[Esei] Kebenaran

Barang siapa mengetahui yang benar, akan bertindak benar.

Kalimat pendek di atas diterima Sophie Amundsend, seorang anak perempuan pelajar sekolah menengah berusia empat belas tahun, dalam sepucuk surat yang dikirimkan kepadanya oleh Alberto Knox, Sang Filosof. Alberto mengajari Sophie akan hakikat kebenaran, melalui telaah-telaah filsafat para filosof terkemuka, sejak awal perkembangannya di Yunani hingga abad kedua puluh.

Uraian pelajaran filsafat untuk Sophie ini dituliskan Jostein Gaarder, dalam buku yang dikarangnya, Dunia Sophie, terbitan Mizan, Jakarta. Menurut Jostein, beda antara orang biasa dengan filosof ialah dalam hal pencarian kebenaran yang tak pernah terpuaskan, melalui pemahaman terhadap kehidupan.

Apakah benar pernyataan tersebut telah mewakili asumsi orang bahwa seorang filosof ialah orang yang “bawel”, dengan beribu pertanyaan sebagai amunisinya, yang siap diarahkan ke semua orang. Apakah yang disebut seorang filosof itu ialah orang yang berhasil mengganggu pikiran dan ketenangan orang, dengan pertanyan-pertanyaannya? Apakah seorang filosof itu ialah orang yang selalu dijauhi orang karena mencoba mengungkapkan kebenaran hidup?

Kesemua gambaran itu menjadi jelas, apabila kita ingat kepada Socrates. Pertanyaan-pertanyaan yang mendekonstruksi pemikiran orang lain itulah, yang membuatnya kehilangan nyawa. Mungkin, agar tidak terulang kembali tragedi Socrates itu, muncullah adagium “mulutmu adalah harimaumu”.

Saat Socrates berkeliling di sekitar kota Athena, sambil menanyakan berbagai macam hal mengenai esensi hidup, banyak orang yang tersengat. Pertanyaan mendasar yang diajukannya seakan membuat orang-orang terjaga dari mimpi, dan kembali membentur realitas yang ada di depan mata.

Bahkan konon dalam menghadapi kematiannya, dengan didampingi salah satu muridnya Plato, ia masih saja mempertanyakan, apa yang membuat orang-orang yang menghukumnya takut. Baginya, pertanyaan itu muncul, dikarenakan ia melihat tingkah polah, masyarakat Athena pada umumnya, yang telah melecehkan makna kebenaran.

“Biarlah orang menganggapku bersalah sesuai dengan pemikiran mereka, namun dalam keyakinanku, apa yang telah kulakukan tidaklah salah,” ujarnya lirih. Sejam kemudian, Socrates pun menjalani hukumannya, yaitu menenggak segelas racun yang memang telah ditentukan sebagai bentuk hukumannya….lagi-lagi oleh sang penguasa, yang merasa terancam atas langkah-langkah Socrates, yang berusaha untuk mengangkat kebenaran dari keterpurukannya sebagai fungsi kontrol sosial masyarakat.

Saat ini, kebenaran merupakan sesuatu hal yang sangat naïf. Dalam struktur kehidupan bermasyarakat, kebenaran merupakan pilihan terakhir sebagai unsur yang perlu untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran seperti ini mungkin terlampau tendensius, namun kenyataan yang berbicara, dimana setiap orang berusaha mengaburkan kebenaran sedalam-dalam dalam benaknya masing-masing. Makna kebenaran bagi mereka ialah segala sesuatu yang sifatnya pembenaran terhadap tindakan yang dilakukannya, itulah makna kebenaran versi masyarakat dunia pada umumnya.
Contoh konkrit yang dapat kita temui saat ini ialah, tentang serangan Amerika Serikat ke Negara Irak. Kebenaran versi Amerika Serikat, yakni negara mana pun yang tidak tunduk kepada titahnya maka negara tersebut membangkang terhadap negara adi kuasa itu. Oleh sebab itu DIBENARKAN untuk melakukan agresi dengan atas nama meluruskan sebuah negara yang dinilainya TIDAK BENAR.

Parameter “benar atau tidaknya” kebenaran itu pun merupakan sesuatu yang abstrak dan subjektif. Untuk itulah diperlukan sebuah alat ukur, yang tidak dapat dibeli dimana pun, yaitu hati nurani. Selama kita mempergunakan hati nurani secara jernih, diharapkan akan muncul suatu kemampuan menilai secara utuh, tidak terkontaminasi oleh semua unsur apa pun. Dengan demikian, terangkatlah kebenaran, sebagai acuan moral yang melandasi semua tindakan dan kegiatan manusia, walaupun kadang kenyataannya kebenaran sangatlah menyakitkan.


We Joined Blogfam