rangkaianhari

Wednesday, October 26, 2005

[Esei] Bersyukur

Sesaat setelah memasuki mobilnya, seorang direktur bertanya kepada supir pribadinya, “Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?” Sang supir pun menjawab, “Cuaca hari ini adalah cuaca yang saya sukai.” Dengan penuh rasa ingin tahu, si majikan pun menanyakan alasan dari jawaban tersebut, “ Bagaimana kamu bisa begitu yakin?” Lalu dengan kerendahan hati, sang supir itu pun berkata,” Begini Pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai karena itu saya selalu menyukai apa pun yang saya dapatkan.”

Demikianlah sekelumit cerita yang saya dapatkan, melalui e-mail yang dikirimkan oleh seorang kawan. Inti dari cerita tadi, ialah dengan bersyukur kita akan dapat lebih bahagia. Namun benarkah dengan hanya mensyukuri apapun yang kita dapatkan, akan membuat kita bahagia? Benarkah kebahagian selalu menjadi tujuan hidup kita di dunia ini? Sebenarnya, pernyataan itu mungkin akan diaminkan oleh sekian banyak orang yang merasa bahwa kebahagian adalah puncak dari segala-gala di kehidupan ini. Dengan mensyukuri apa yang kita terima, akan membuat kita tenang, damai, tenteram sehingga dalam menjalani hidup ini pun terasa enteng. Dalam bersyukur, berarti kita tidak memfokuskan diri terhadap apa yang kita inginkan melainkan apa yang kita dapatkan. Hal inilah yang menimbulkan rasa bahagia karena tidak mempunyai obsesi yang sering membuat sakit kepala apabila keinginan itu tidak terwujudkan.

Namun apakah benar begitu, hanya dengan bersyukur maka menjamin kualitas hidup yang kita jalani itu telah berarti. Hanya dengan bersyukur maka kita telah “mensyukuri” apa yang telah diberikan oleh Allah SWT semata. Bagi saya pribadi, pemikiran seperti itu adalah sebuah pemikiran praktis bagi orang-orang yang malah tidak mensyukuri pemberian tuhan. Lebih gamblangnya lagi, pemikiran tersebut hanyalah berguna bagi seorang pecundang.

Sebagai manusia, kita diberikan akal oleh Tuhan agar kita dapat berpikir. Ini merupakan karunia terbesar yang diberikan-Nya. Dengan akal, kita kita diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan. Dengan selalu “bersyukur”, berarti secara tidak langsung kita bukanlah tergolong orang-orang yang berpikir (ulil albab). Padahal dalam Al-Qur’an pun secara jelas dikatakan Alllah SWT, selalu senang dengan orang-orang yang selalu berpikir. Jika kita selalu menyerah dengan hasil yang kita dapat, tanpa pernah berpikir tentang solusi apa yang akan kita gunakan untuk menyiasati masalah kita, apa bedanya kita dengan seorang pecundang yang selalu saja menyesali hidupnya yang tak berguna, tanpa mau berusaha untuk mengubah kehidupannya sendiri. Bahkan dalam Al-Qur’an dikatakan, Allah SWT tidak akan mengubah nasib seseorang apabila seseorang itu tidak berusaha untuk mengubahnya sendiri.

Bagi saya, berpikiran liar sekalipun, dengan pola pikir apapun, selama menyadari bahwa itu hanyalah media kita dalam mensyukuri nikmat Allah SWT, merupakan sesuatu hal yang sangat wajar dan masuk akal. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana cara bersyukur apabila kita tak pernah tahu bagaimana rasa tak pernah puas, obsesif, maupun kegagalan. Kita tidak akan pernah tahu rasa gula itu manis, sebelum mencicipi gula itu sendiri. Kita tak pernah merasa nikmatnya hidup, jika belum merasakan sengsaranya hidup. Kesemuanya itu merupakan hukum sebab-akibat, yang merupakan sunnatullah. Dengan demikian, kita pun akan menikmati kualitas hidup yang telah kita jalani.

0 comment(s):

Post a comment

<< Home


We Joined Blogfam