rangkaianhari

Monday, January 30, 2006

[Celoteh] Buku Laskar Pelangi: Totto Chan Versi Indonesia?


Buku Laskar pelangi ini mengisahkan tentang kehidupan besekolah anak-anak kampung Bitong. Mereka sekolah di SD Muhammadiyah, sekolah kampung di Bitong yang sangat-sangat sederhana, dengan fasilitas yang sangat-sangat minim. Bunda guru Muslimah adalah guru sangat dihormati dan disayangi oleh Ikal Lintang, Mahar, Syahdan, A Kiong, Kucai, Borek alias Samson, Sahara, Trapani, dan Harun. Diceritakan bahwa dedikasi Bu Mus sangatlah tinggi untuk mengajar murid-muridnya tersebut. Kesemua anak-anak tersebut dinamakan Laskar Pelangi, karena semuanya menyukai pelangi.

Selanjutnya buku ini berkisah tentang beberapa karakter dari teman-teman Ikal (karakter dari penulisnya), yakni Lintang, seorang anak jenius yang otodidak. Meskipun rumahnya berjarak 40 km dari sekolah, tak memadamkannya untuk terus bersekolah. Tiap hari dia bersepeda dari rumahnya ke sekolah, tanpa putus asa. Bahkan dia disebutkan tidak pernah tidak masuk seklolah, walau apapun rintangannya. Lintang digambarkan memiliki wawasan yang luas, memiliki daya logika, analisis, dan menonjol dalam ilmu hitung.

Teman ikal selanjutnya yang secara khusus dikisahkan adalah Mahar, seorang anak genius berikutnya. Mahar digambarkan sebagai seorang jenius di bidang kesenian. Tentunya cerita tentang Ikal pun menjadi salah satu bagian dalam buku ini.

Ikal dan teman-temannya tersebut pada akhirnya dapat mengharumkan nama SD Muhammadiyah yang selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat Bitong. Mereka memenangkan karnaval 17 Agustus-an, dan lomba cerdas cermat. Pada akhir cerita, dikisahkan pula tentang nasib dari anak-anak Laskar Pelangi tersebut setelah beranjak dewasa.

Demikian kira-kira inti cerita dari buku Laskar Pelangi (LP), yang ditulis oleh Andrea "Ikal" Hirata. Sebuah buku yang menyegarkan, karena kisah tentang masa kecil adalah kisah yang menyenangkan. Hampir tiap orang senang mengenang masa kecilnya dulu.

Meskipun begitu, ada beberapa hal yang mengganggu aku ketika selesai membaca seluruh isi buku tersebut, yakni logika cerita yang dituturkan. Terus terang, pertama kali ingin membaca buku itu karena mendapat beberapa rekomendasi dari milis maupun diberitahu teman, bahkan dengan pernyataan bahwa buku ini adalah buku Totto Chan-nya Tetsuko Kuroyanagi (TC) versi Indonesia. Waaaah, surprise juga bahwa ternyata di Indonesia ada sekolah dengan sistem belajar yang membebaskan anak-anak untuk menjadi kreatif, dan mengenal kemampuannya dirinya sendiri. Ternyata ada sekolah Tomoe-nya Sosaku Kobayashi versi Indonesia, yang sangat menghargai kreativitas dari anak didiknya. Namun setelah membaca buku LP, ternyata tidak sama dengan buku TC!!!

Dalam buku TC, tiap murid diarahkan dalam mengembangkan maupun menemukan kemampuan dari dirinya masing-masing. Sistem belajar- mengajar di sekolah Tomoe dibuat untuk mendukung kemampuan dari tiap murid di Tomoe. Sedangkan dalam SD Muhammadiyah ini, murid-murid jenius ini diceritakan memang telah memiliki kemampuan yang menonjol dan otodidak, tanpa ada fasilitas maupun sistem belajar-mengajar yang mendukung dari murud-muridnya.

Selanjutnya, ada beberapa hal yang mengganggu aku ketika selesai membaca seluruh isi buku tersebut, yakni logika cerita yang dituturkan. Sejak awal, penulis ngotot untuk menebalkan makna kata kemiskinan, kekurangan, daerah terpencil, dalam kehidupan di Bitong maupun kehidupan anak-anak LP. Namun, bagaimana mungkin diceritakan bahwa Mahar dan kawan-kawan dapat berlatih musik dengan alat-alat musik yang lumayan canggih dan mahal, lengkap dengan electone listrik, gitar, dan bahkan drum. Begitu juga dengan keahlian anak-anak yang lain, kecuali Mahar sang jenius musik, yang dengan cepat menguasai alat-alat musik dengan waktu yang cepat. Bahkan Harun yang diceritakan memiliki kemampuan otak yang lemah, dapat bermain drum (man...ampe sekarang aja aku gak bisa-bisa maen drum, padahal pengen banget). Grup musik mereka bahkan sering dipanggil dalam berbagai acara di Bitong. Belum lagi dengan karnaval 17 Agustus-an, yang banyak memakan biaya kostum, yang dikenakan oleh murid-murid SD Muhammadiyah.

Lalu, sosok Lintang juga digambarkan sangat super jenius. Bayangkan, dia tiap hari bersepeda pulang balik dari rumahnya ke sekolah yang berjarak 40 km, berarti dalam sehari ia menempuh 80 km. Digambarkan, bila pulang sekolah, dia sampai di rumah sudah malam hari. Ditambah lagi dia membantu orangtuanya bekerja hingga tengah malam. So...kapan dia belajar? Wawasan Lintang yang sangat luas itu juga tidak diceritakan berasal darimana. Kalaupun otodidak, tentu ada sumber bahan bacaannya jan? Tadi dengan kondisi kehidupan keluarganya yang sangat minim, tidak mungkin ia membeli buku bacaan yang banyak. Bukannya meremehkan seseorang, bagiku sangat tidak masuk akal saja. Karena waktu, tenaga, dan sumber-sumber pelajarannya tidak secara jelas diceritakan. Apakah kesemuanya itu take it for granted saja???

Tapi secara keseluruhan....aku salut dengan penulis. Buku LP memiliki tema penulisan yang berbeda dengan buku-buku yang lain. Semoga merupakan stimulan bagi penuli lain, yang tidak hanya menulis bertemakan cinta antar lawan jenis semata, bisa dikembangkan untuk berbicara cinta secara universal.

Saranku untuk Andrea Hirata...pertajam lagi logika cerita dari setiap buku yang dihasil. Yang sudah dilakukan sudahlah excellent...toh terbukti anda telah berkarya, dibandingkan aku yang belum pernah menghasilkan karya satu buku sekali pun :(

You had done a very good job, man!


We Joined Blogfam